Kemiskinan Makro dan Mikro
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, data kemiskinan dapat dibedakan menjadi data kemiskinan makro dan data kemiskinan mikro. Istilah makro dan mikro merujuk pada bagaimana suatu data disajikan. Seperti yang diketahui, data dikumpulkan dalam berbagai bentuk, yang menghasilkan berbagai jenis file. Misal, jika ada data sensus, maka yang disebut data makro antara lain jumlah individu menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan tingkat pendapatan, wilayah tempat tinggal, dan sebagainya. Sedangkan, data mikro terdiri dari data individu. Dalam kumpulan istilah ilmu komputer dan ilmu sosial disebutkan bahwa data makro disebut juga data aggregate (jumlah) atau data yang dijumlahkan. Sedangkan, data mikro disebut juga data tingkat individu atau data yang
mengandung informasi individu (http://3stages.org/glossary).
1. Data Kemiskinan Makro
Data kemiskinan makro yang dihasilkan oleh BPS adalah data kemiskinan yang bersumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Selain Susenas digunakan juga Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD) sebagai informasi tambahan yang dipakai untuk memperkirakan proporsi pengeluaran masing-masing komoditi pokok non makanan.
Indikator kemiskinan yang dihasilkan diantaranya adalah persentase penduduk miskin, yaitu persentase penduduk yang pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan (yang disebut Po/ Head Count Index), jumlah penduduk miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1/ Poverty Gap Index), Indeks Keparahan Kemiskinan (P2/ Poverty Severity Index).
Ravallion (1998) menyebutkan bahwa untuk mengukur kemiskinan, ada 3 tahapan, yaitu yang pertama mendefinisikan sebuah indikator kesejahteraan, kedua membangun standar minimum dari indikator kesejahteraan, dan yang ketiga membuat ringkasan statistik. Untuk mengukur kesejahteraan, BPS menggunakan pendekatan yang berdasarkan pada ukuran moneter, yaitu pengeluaran konsumsi rumah tangga dengan mempertimbangkan setiap anggota rumah tangga (yang disebut pengeluaran per kapita).
Setelah menentukan sebuah indikator kesejahteraan, dalam hal ini adalah pengeluaran per kapita, langkah selanjutnya adalah membangun standar minimum dari indikator kesejahteraan tersebut untuk membagi penduduk menjadi miskin dan tidak miskin. Standar minimum ini sering dikenal sebagai garis kemiskinan (GK). Untuk menentukan GK yang mencakup kebutuhan dasar, BPS menggunakan metode food energy intake (FEI). Pada metode FEI ini nilai kuantitas dan harga setiap komoditas yang terpilih berubah sesuai dengan perubahan pola konsumsi dari penduduk referensi (20 persen penduduk yang pengeluarannya berada di atas garis kemiskinan sementara) dan basket komoditi (sekelompok komoditas makanan terpilih yang dikonsumsi rumah tangga) ditentukan dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic need approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan
makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.
Garis kemiskinan merupakan nilai pengeluaran untuk kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan per kapita per bulan. Batas kecukupan makanan ini dikenal sebagai garis kemiskinan makanan (GKM). GKM adalah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan (antara lain: beras, gula pasir, telur ayam ras, dan lain-lain) yang riil dikonsumsi oleh penduduk referensi. Pemilihan paket komoditi makanan ditentukan atas dasar persentase rumah tangga yang mengkonsumsi komoditi tersebut, serta dengan mempertimbangkan volume kalori yang tergantung dan kewajaran sebagai komoditi penting. Pemilihan paket komoditi makanan tidak membedakan antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Perbedaan nilai pengeluaran untuk komoditi-komoditi makanan terpilih antara penduduk perkotaan dan perdesaan dicerminkan oleh perbedaan volume, harga, dan kualitas dari setiap komoditi makanan terpilih. Nilai pengeluaran dari paket komoditi tersebut kemudian disetarakan menjadi 2.100 kilokalori per kapita per hari. Angka ini merupakan standar minimum untuk makanan yang memadai yang harus dikonsumsi oleh seseorang dalam sehari. Penetapan standar minimum ini mengacu pada rekomendasi dari Widyakara Nasional Pangan dan Gizi Tahun 1978, yaitu setara dengan nilai konsumsi makanan yang menghasilkan 2.100 kalori per orang per hari. Ukuran kalori ini pun sudah menjadi kesepakatan dunia. Dalam pertemuan di Roma tahun 2001, FAO (Food and Agriculture Organization) dan WHO (World Health Organization) dari hasil kajian mendalam para pakar merekomendasikan bahwa batas minimal kebutuhan manusia untuk mampu
bertahan hidup dan mampu bekerja adalah sekitar 2.100 kilokalori plus kebutuhan paling mendasar bukan makanan (Hasbullah, 2012).
Komponen GK yang ke-dua adalah garis kemiskinan non makanan (GKNM). GKNM merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum komoditi-komoditi non makanan yang mencakup pengeluaran untuk perumahan, penerangan, bahan bakar, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, barang-barang tahan lama, serta barang dan jasa esensial lainnya. Pemilihan komoditi non makanan senantiasa mengalami perubahan pada jumlah. Suatu komoditi non makanan dipilih jika komoditi ini merupakan salah satu kebutuhan dasar penduduk referensi. Pemilihan komoditi-komoditi non makanan ini didasarkan atas hasil “Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar” (SPKKD). Survei ini (terakhir dilakukan tahun 2004) mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk item konsumsi bukan makanan yang lebih rinci dibanding yang ditanyakan pada Susenas. Informasi rinci ini memungkinkan seseorang untuk mengidentifikasi secara spesifik komoditi bukan makanan yang benar-benar dikonsumsi oleh penduduk referensi. Berdasarkan hasil SPKKD ini jumlah paket komoditi kebutuhan dasar non makanan di perkotaan adalah 51 komoditi, sedangkan di perdesaan hanya 47 komoditi.
Seperti yang telah disebutkan oleh Ravallion, bahwa ada 3 tahapan utama dalam mengukur kemiskinan. Kedua tahapan telah disebutkan diatas, dan selanjutnya adalah tahap yang ketiga, yaitu membuat ringkasan statistik untuk memberikan informasi secara agregat mengenai distribusi dari indikator kesejahteraan tersebut dan posisi relatifnya terhadap standar minimum yang telah ditentukan. Dalam manual kemiskinan yang dikeluarkan oleh World Bank Institute tahun 2005, disebutkan sejumlah ukuran agregate kemiskinan yang bisa dihitung, yaitu:
- Headcount index (Po). Sampai saat ini, ukuran kemiskinan ini yang telah digunakan secara luas. Headcount index secara sederhana mengukur proporsi penduduk yang terkategori miskin. Kelebihan dari ukuran kemiskinan ini adalah kemudahannya dalam penghitungan dan mudah untuk dipahami. Namun, kelemahannya adalah headcount index tidak memperhitungkan intensitas kemiskinan, tidak menunjukkan seberapa miskin yang miskin, dan tidak berubah jika penduduk di bawah GK menjadi lebih miskin. Dan yang menjadi catatan di sini adalah estimasi kemiskinan harus dihitung untuk individu dan bukan rumah tangga. Dalam headcount index yang dihitung adalah persentase individu penduduk miskin dan bukan persentase rumah tangga miskin. Agar persentase rumah tangga bisa berlaku, maka dibuat asumsi, yaitu semua anggota rumah tangga menikmati tingkat kesejahteraan yang sama. Namun, asumsi ini mungkin tidak berlaku di banyak situasi, misalnya beberapa orang tua anggota rumah tangga mungkin lebih miskin dibanding anggota rumah tangga lainnya. Dalam kenyataan, tidak semua konsumsi dibagi secara merata untuk semua anggota rumah tangga.
- Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1/Poverty Gap Index). Ukuran kemiskinan ini cukup populer. Indeks ini menyatakan rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks berarti semakin dalam tingkat kemiskinan karena semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan.
- Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index/Squared Poverty Gap Index/P2). Indeks ini digunakan oleh para peneliti untuk menjawab masalah ketimpangan diantara penduduk miskin. Indeks ini menyatakan sebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks berarti semakin parah tingkat kemiskinan karena semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
Ukuran-ukuran agregate kemiskinan tersebut secara rutin telah dipublikasikan oleh BPS
yang dikenal sebagai data kemiskinan makro. Selain tiga ukuran agregate kemiskinan di atas,
ada beberapa ukuran agregate kemiskinan lainnya, seperti Indeks Sen, Indeks Sen-Shorrocks-
Thon (SST), dan lain-lain, tetapi indeks-indeks tersebut tidak rutin dihitung oleh BPS.
2. Data Kemiskinan Mikro
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, data kemiskinan makro yang telah dihasilkan
hanya dapat disajikan sampai tingkat provinsi/kabupaten. Sedangkan, beberapa tahun terakhir
data kemiskinan mikro yang merupakan data level individu pun telah tersedia. Beberapa contoh
data kemiskinan mikro yang telah dihasilkan adalah Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2005
(PSE05), Survei Pelayanan Dasar Kesehatan dan Pendidikan 2007 (SPDKP07) yang merupakan
bagian PSE05 untuk rumahtangga-rumahtangga tertentu, Pendataan Program Perlindungan
Sosial 2008 (PPLS08), dan yang terbaru adalah Pendataan Program Perlindungan Sosial 2011
(PPLS11).
PSE05 merupakan data level individu pertama yang tersedia sebagai dasar dari programprogram
perlindungan sosial dalam rangka mengurangi jumlah penduduk miskin. PSE05
dimaksudkan untuk mendapatkan data kemiskinan mikro berupa direktori rumah tangga
penerima BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang berisi nama kepala rumah tangga dan alamat
tempat tinggal mereka. Penentuan rumah tangga penerima BLT pada PSE05 didasarkan pada
pendekatan karakteristik rumah tangga, bukan dengan pendekatan nilai konsumsi pengeluaran
untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum seperti pada data kemiskinan makro. Indikatorindikator
yang digunakan ada sebanyak 14 variabel, yaitu:
1) Luas lantai rumah;
2) Jenis lantai rumah;
3) Jenis dinding rumah;
4) Fasilitas tempat buang air besar;
5) Sumber air minum;
6) Penerangan yang digunakan;
7) Bahan bakar yang digunakan;
8) Frekuensi makan dalam sehari;
9) Kebiasaan membeli daging/ayam/susu;
10) Kemampuan membeli pakaian;
11) Kemampuan berobat ke puskesmas/poliklinik;
12) Lapangan pekerjaan kepala rumah tangga;
13) Pendidikan kepala rumah tangga; dan
14) Kepemilikan aset.
Metode yang digunakan untuk menentukan kategori rumah tangga penerima BLT adalah dengan menggunakan sistem skoring, yaitu setiap variabel diberi skor yang diberi bobot dan bobotnya didasarkan pada besarnya pengaruh dari setiap variabel terhadap kemiskinan. Jumlah variabel dan besarnya bobot berbeda di setiap kabupaten. Dari bobot masing-masing variabel terpilih untuk setiap kabupaten/kota selanjutnya dihitung indeks skor rumah tangga penerima BLT. Selanjutnya indeks diurutkan dari terbesar sampai terkecil, semakin tinggi nilainya, maka semakin miskin rumah tangga tersebut (BPS, 2011).
Selain PSE05, BPS pada tahun 2007 kembali mengumpulkan data kemiskinan mikro yang dikenal dengan nama SPDKP 2007. SPDKP07 merupakan basis data untuk calon penerima bantuan tunai melalui Program Keluarga Harapan (PKH). PKH adalah program penanggulangan kemiskinan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dini dengan cara pemberian bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) berdasarkan persyaratan dan ketentuan yang telah ditetapkan. Untuk jangka pendek, program ini diharapkan dapat mengurangi beban pengeluaran RTSM. Untuk jangka panjang, melalui persyaratan yang ditentukan diharapkan akan terjadi perubahan pola pikir dan perilaku yang mengarah pada perbaikan status kesehatan anak-anak dan ibu hamil, serta perbaikan tingkat pendidikan anakanak RTSM, sehingga secara berangsur-angsur rantai kemiskinan dapat diputus. SPDKP dilakukan dalam 2 putaran, SPDKP Putaran-1 dilakukan pada bulan April-Juli 2007 dan Putaran-2 dilakukan pada bulan Agustus-November 2007.
SPDKP Putaran-1 diselenggarakan untuk menjaring RTSM yang memenuhi syarat (rumah tangga yang memiliki anak balita, anak usia sekolah, dan wanita hamil) untuk implementasi Tahun Anggaran 2007, sedangkan pelaksanaan Putaran-2 dimaksudkan untuk memperoleh RTSM bagi pelaksanaan PKH Tahun Anggaran 2008. SPDKP Putaran-1 diselenggarakan pada 348 kecamatan yang tersebar di 49 kabupaten di 7 provinsi, yaitu Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Gorontalo. Cakupan wilayah SPDKP Putaran-2 adalah 615 kecamatan yang tersebar di 97 kabupaten/kota di 15 provinsi, yaitu Nanggroe Aceh
Darussalam, Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur,
Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Papua Barat. Dalam laporan SPDKP07 disebutkan beberapa kriteria umum RTSM, yaitu:
- Sebagian besar pengeluarannya digunakan untuk memenuhi konsumsi makanan pokok yang sangat sederhana,
- Biasanya tidak mampu atau mengalami kesulitan untuk berobat ke tenaga medis, kecuali Puskesmas atau yang disubsidi pemerintah,
- Tidak mampu membeli pakaian satu kali dalam satu tahun untuk setiap anggota rumah tangga,
- Biasanya tidak/hanya mampu menyekolahkan anaknya sampai jenjang pendidikan SLTP.
Dari sisi kondisi fisik serta fasilitas tempat tinggal RTSM biasanya tinggal pada rumah yang:
- Dinding rumahnya terbuat dari bambu/kayu/tembok dengan kondisi tidak baik/kualitas rendah, termasuk tembok yang sudah usang/berlumut atau tembok tidak diplester,
- Sebagian besar lantai terbuat dari tanah atau kayu/semen/keramik dengan kondisi tidak baik/kualitas rendah,
- Atap terbuat dari ijuk/rumbia atau genteng/seng/asbes dengan kondisi tidak baik/kualitas rendah,
- Penerangan bangunan tempat tinggal bukan dari listrik atau listrik tanpa meteran,
- Luas lantai rumah kecil (biasanya kurang dari 8 m2/orang),
- Sumber air minum berasal dari sumur atau mata air tak terlindung/air sungai/air hujan/lainnya.
Selanjutnya pada tahun 2008 BPS melakukan pemutakhiran (updating) data basis Rumah
Tangga Sasaran Bantuan Langsung Tunai (RTS BLT). Dalam BPS (2011) disebutkan bahwa
pemutakhiran data tersebut dilaksanakan melalui kegiatan Pendataan Program Perlindungan
Sosial Tahun 2008 (PPLS08). Adapun tujuan kegiatan PPLS08 adalah:
1. Memperbaharui database RTS, yaitu untuk mendapatkan daftar nama dan alamat RTS:
- Membuang data rumah tangga penerima BLT 2005 yang sudah meninggal dunia tanpa ahli waris yang berada pada rumah tangga yang sama.
- Membuang data rumah tangga penerima BLT 2005 yang tidak layak sebagai sasaran program karena status ekonominya sudah tidak miskin lagi.
- Memasukkan data rumah tangga sasaran baru, baik mereka adalah rumah tangga yang sebelumnya telah tercatat tetapi pindah tempat tinggal atau mereka yang belum pernah tercatat sama sekali.
2. Memperbaharui informasi tentang kehidupan sosial ekonomi RTS, khususnya tentang kualitas tempat tinggal, pendidikan dan pekerjaan kepala rumah tangga.
3. Menambah data anggota rumah tangga sasaran dengan informasi nama, umur, jenis kelamin,
status sekolah dan pekerjaan anggota rumah tangga dan informasi tambahan tentang kondisi
perumahan.
Jenis data yang dikumpulkan adalah
- Keterangan rumah tangga yang meliputi: luas lantai, jenis lantai, jenis dinding, fasilitas tempat buang air besar, sumber air minum, sumberpenerangan, jenis bahan bakar untuk memasak, frekwensi membeli daging/ayam/susu, frekwensi makan, jumlah pakaian yang biasa dibeli, kemampuan berobat, lapangan pekerjaan utama, pendidikan kepala rumah tangga (KRT), kepemilikan aset;
- Keterangan sosial ekonomi anggota rumah tangga (ART) yaitu nama, hubungan dengan kepala rumah tangga, jenis kelamin, tanggal lahir, umur, status perkawinan, kepemilikan tanda pengenal, kecatatan, pendidikan, kegiatan ekonomi ART yang berumur 5 tahun dan lebih.
Setelah PPLS08, BPS kembali melakukan pendataan rumah tangga/keluarga sasaran pada
tahun 2011. Ini berarti PPLS11 merupakan kegiatan pendataan rumah tangga untuk program
bantuan dan perlindungan sosial yang ke-empat. Kegiatan PPLS11 dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan basis data terpadu yang dapat digunakan untuk program-program
bantuan dan perlindungan sosial pemerintah pada tahun 2012-2014.