Pelatihan Petugas Pendataan

Pelatihan Petugas Pendataan

a. Intama Pendataan
Pelatihan intama pendataan dilaksanakan di BPS pusat selama 2 hari efektif pada Bulan Mei 2015. Peserta pelatihan adalah Kepala seksi senior di lingkungan Bidang Statistik Sosial BPS Provinsi atau Kepala Seksi Statistik Sosial BPS Kabupaten/kota yang berpengalaman mengajar. Penanggung jawab penyelenggaraan pelatihan intama pendataan adalah Direktorat Statistik Ketahanan Sosial BPS.

b. Innas Pendataan
Pelatihan innas pendataan dilaksanakan di BPS Provinsi selama 2 hari efektif pada Bulan Mei 2015. Peserta pelatihan adalah Kepala Seksi di lingkungan Bidang Statistik Sosial atau Kepala Seksi Statistik Sosial di BPS Kabupaten/kota yang berpengalaman mengajar. Penanggung jawab penyelenggaraan pelatihan adalah BPS Provinsi.

c. Petugas Pendataan
Pelatihan Petugas Pendataan dilaksanakan di BPS Kabupaten/Kota selama 2 hari efektif pada Bulan Juni 2015. Peserta pelatihan adalah mitra statistik yang dapat memenuhi tugas dan tanggung jawab sebagai pencacah lapangan. Penanggung jawab penyelenggaraan pelatihan adalah BPS Kabupaten/Kota.

Pelatihan Petugas Fasilitator

Pelatihan Petugas FKP

a. Trainer Fasilitator
Pelatihan trainer fasilitator dilaksanakan di BPS pusat selama 2 hari efektif pada Bulan April 2015. Peserta pelatihan trainer adalah Kepala Bidang Statistik Sosial atau Kepala Seksi senior di lingkungan BPS Provinsi atau BPS Kabupaten/kota yang berpengalaman mengajar. Penanggung jawab penyelenggaraan pelatihan trainer fasilitator adalah Direktorat Statistik Ketahanan Sosial.

b. Fasilitator dan Asisten Fasilitator
Pelatihan fasilitator dan asisten fasilitator diselenggarakan oleh BPS Provinsi selama 2 hari efektif pada Bulan Mei 2015. Peserta pelatihan adalah calon fasilitator dan asisten fasilitator. Penanggung jawab penyelenggaraan pelatihan fasilitator dan asisten fasilitator adalah BPS Provinsi.

Pengolahan Data

Pengolahan data PBDT 2015 dilakukan dalam empat bagian. Semua aplikasi yang dipakai pada setiap bagian dipersiapkan oleh BPS pusat. Penjelasan dari masing-masing bagian adalah sbb.
  1. Bagian pertama adalah penggabungan data PPLS 2011 dengan data yang berasal dari program lainnya (seperti Musdes/Muskel atau PKH). Data ini dijadikan prelist awal yang berisi nama kepala rumah tangga, nama anggota rumah tangga lain, dan alamat tempat tinggal rumah tangga. Daftar ini dinamai Daftar PBDT2015.PPLS untuk data berasal dari PPLS 2011 dan disebut Daftar PBDT2015.PROGRAMuntuk data bersumber dari program lainnya.
  2. Bagian kedua adalah pengolahan dokumen hasil FKP di BPS Kabupaten/Kota. Pengolahan hasil FKP dilakukan dengan sistem ban berjalan, artinya entry data dilakukan segera setelah FKP selesai dan dokumen hasil FKP diterima oleh tim pengolahan di BPS Kabupaten/Kota. Hasil pengolahan dokumen ini akan menjadi Daftar PBDT2015.FKP, berupa preprinted daftar nama dan alamat rumah tangga yang akan dipakai dalam kegiatan pendataan. Selain itu untuk kebutuhan dokumentasi, Lembar Pengesahan di-scan dan disimpan dalam file.
  3. Bagian ketiga adalah pengolahan data rumah tangga yang dilaksanakan di BPS Kabupaten/Kota. Dokumen yang diolah adalah PBDT2015.RT. Hasil pengolahan semua kabupaten/kota dikirimkan ke BPS Provinsi untuk dilakukan kompilasi. Kemudian semua hasil pengolahan provinsi dikompilasi di BPS pusat.
  4. Bagian keempat adalah pengolahan data untuk pemodelan PMT (Proxy Mean Test). Kegiatan ini dilakukan di BPS pusat bersama dengan tim ahli dalam koordinasi Direktorat Statistik Ketahanan Sosial.

Jadwal PBDT 2015






Kemiskinan Makro dan Mikro

Kemiskinan Makro dan Mikro

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, data kemiskinan dapat dibedakan menjadi data kemiskinan makro dan data kemiskinan mikro. Istilah makro dan mikro merujuk pada bagaimana suatu data disajikan. Seperti yang diketahui, data dikumpulkan dalam berbagai bentuk, yang menghasilkan berbagai jenis file. Misal, jika ada data sensus, maka yang disebut data makro antara lain jumlah individu menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan tingkat pendapatan, wilayah tempat tinggal, dan sebagainya. Sedangkan, data mikro terdiri dari data individu.  Dalam kumpulan istilah ilmu komputer dan ilmu sosial disebutkan bahwa data makro disebut juga data aggregate (jumlah) atau data yang dijumlahkan. Sedangkan, data mikro disebut juga data tingkat individu atau data yang
mengandung informasi individu (http://3stages.org/glossary).

1. Data Kemiskinan Makro
Data kemiskinan makro yang dihasilkan oleh BPS adalah data kemiskinan yang bersumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Selain Susenas digunakan juga Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar (SPKKD) sebagai informasi tambahan yang dipakai untuk memperkirakan proporsi pengeluaran masing-masing komoditi pokok non makanan.

Indikator kemiskinan yang dihasilkan diantaranya adalah persentase penduduk miskin, yaitu persentase penduduk yang pengeluarannya berada di bawah garis kemiskinan (yang disebut Po/ Head Count Index), jumlah penduduk miskin, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1/ Poverty Gap Index), Indeks Keparahan Kemiskinan (P2/ Poverty Severity Index).

Ravallion (1998) menyebutkan bahwa untuk mengukur kemiskinan, ada 3 tahapan, yaitu yang pertama mendefinisikan sebuah indikator kesejahteraan, kedua membangun standar minimum dari indikator kesejahteraan, dan yang ketiga membuat ringkasan statistik. Untuk mengukur kesejahteraan, BPS menggunakan pendekatan yang berdasarkan pada ukuran moneter, yaitu pengeluaran konsumsi rumah tangga dengan mempertimbangkan setiap anggota rumah tangga (yang disebut pengeluaran per kapita).

Setelah menentukan sebuah indikator kesejahteraan, dalam hal ini adalah pengeluaran per kapita, langkah selanjutnya adalah membangun standar minimum dari indikator kesejahteraan tersebut untuk membagi penduduk menjadi miskin dan tidak miskin. Standar minimum ini sering dikenal sebagai garis kemiskinan (GK). Untuk menentukan GK yang mencakup kebutuhan dasar, BPS menggunakan metode food energy intake (FEI). Pada metode FEI ini nilai kuantitas dan harga setiap komoditas yang terpilih berubah sesuai dengan perubahan pola konsumsi dari penduduk referensi (20 persen penduduk yang pengeluarannya berada di atas garis kemiskinan sementara) dan basket komoditi (sekelompok komoditas makanan terpilih yang dikonsumsi rumah tangga) ditentukan dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic need approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan
makanan yang diukur dari sisi pengeluaran.

Garis kemiskinan merupakan nilai pengeluaran untuk kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan per kapita per bulan. Batas kecukupan makanan ini dikenal sebagai garis kemiskinan makanan (GKM). GKM adalah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan (antara lain: beras, gula pasir, telur ayam ras, dan lain-lain) yang riil dikonsumsi oleh penduduk referensi. Pemilihan paket komoditi makanan ditentukan atas dasar persentase rumah tangga yang mengkonsumsi komoditi tersebut, serta dengan mempertimbangkan volume kalori yang tergantung dan kewajaran sebagai komoditi penting. Pemilihan paket komoditi makanan tidak membedakan antara wilayah perkotaan dan perdesaan. Perbedaan nilai pengeluaran untuk komoditi-komoditi makanan terpilih antara penduduk perkotaan dan perdesaan dicerminkan oleh perbedaan volume, harga, dan kualitas dari setiap komoditi makanan terpilih. Nilai pengeluaran dari paket komoditi tersebut kemudian disetarakan menjadi 2.100 kilokalori per kapita per hari. Angka ini merupakan standar minimum untuk makanan yang memadai yang harus dikonsumsi oleh seseorang dalam sehari. Penetapan standar minimum ini mengacu pada rekomendasi dari Widyakara Nasional Pangan dan Gizi Tahun 1978, yaitu setara dengan nilai konsumsi makanan yang menghasilkan 2.100 kalori per orang per hari. Ukuran kalori ini pun sudah menjadi kesepakatan dunia. Dalam pertemuan di Roma tahun 2001, FAO (Food and Agriculture Organization) dan WHO (World Health Organization) dari hasil kajian mendalam para pakar merekomendasikan bahwa batas minimal kebutuhan manusia untuk mampu
bertahan hidup dan mampu bekerja adalah sekitar 2.100 kilokalori plus kebutuhan paling mendasar bukan makanan (Hasbullah, 2012).

Komponen GK yang ke-dua adalah garis kemiskinan non makanan (GKNM). GKNM merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum komoditi-komoditi non makanan yang mencakup pengeluaran untuk perumahan, penerangan, bahan bakar, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, barang-barang tahan lama, serta barang dan jasa esensial lainnya. Pemilihan komoditi non makanan senantiasa mengalami perubahan pada jumlah. Suatu komoditi non makanan dipilih jika komoditi ini merupakan salah satu kebutuhan dasar penduduk referensi. Pemilihan komoditi-komoditi non makanan ini didasarkan atas hasil “Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar” (SPKKD). Survei ini (terakhir dilakukan tahun 2004) mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk item konsumsi bukan makanan yang lebih rinci dibanding yang ditanyakan pada Susenas. Informasi rinci ini memungkinkan seseorang untuk mengidentifikasi secara spesifik komoditi bukan makanan yang benar-benar dikonsumsi oleh penduduk referensi. Berdasarkan hasil SPKKD ini jumlah paket komoditi kebutuhan dasar non makanan di perkotaan adalah 51 komoditi, sedangkan di perdesaan hanya 47 komoditi.

Seperti yang telah disebutkan oleh Ravallion, bahwa ada 3 tahapan utama dalam mengukur kemiskinan. Kedua tahapan telah disebutkan diatas, dan selanjutnya adalah tahap yang ketiga, yaitu membuat ringkasan statistik untuk memberikan informasi secara agregat mengenai distribusi dari indikator kesejahteraan tersebut dan posisi relatifnya terhadap standar minimum yang telah ditentukan. Dalam manual kemiskinan yang dikeluarkan oleh World Bank Institute tahun 2005, disebutkan sejumlah ukuran agregate kemiskinan yang bisa dihitung, yaitu:

  1. Headcount index (Po). Sampai saat ini, ukuran kemiskinan ini yang telah digunakan secara luas. Headcount index secara sederhana mengukur proporsi penduduk yang terkategori miskin. Kelebihan dari ukuran kemiskinan ini adalah kemudahannya dalam penghitungan dan mudah untuk dipahami. Namun, kelemahannya adalah headcount index tidak memperhitungkan intensitas kemiskinan, tidak menunjukkan seberapa miskin yang miskin, dan tidak berubah jika penduduk di bawah GK menjadi lebih miskin. Dan yang menjadi catatan di sini adalah estimasi kemiskinan harus dihitung untuk individu dan bukan rumah tangga. Dalam headcount index yang dihitung adalah persentase individu penduduk miskin dan bukan persentase rumah tangga miskin. Agar persentase rumah tangga bisa berlaku, maka dibuat asumsi, yaitu semua anggota rumah tangga menikmati tingkat kesejahteraan yang sama. Namun, asumsi ini mungkin tidak berlaku di banyak situasi, misalnya beberapa orang tua anggota rumah tangga mungkin lebih miskin dibanding anggota rumah tangga lainnya. Dalam kenyataan, tidak semua konsumsi dibagi secara merata untuk semua anggota rumah tangga.
  2. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1/Poverty Gap Index). Ukuran kemiskinan ini cukup populer. Indeks ini menyatakan rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks berarti semakin dalam tingkat kemiskinan karena semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. 
  3. Indeks Keparahan Kemiskinan (Poverty Severity Index/Squared Poverty Gap Index/P2). Indeks ini digunakan oleh para peneliti untuk menjawab masalah ketimpangan diantara penduduk miskin. Indeks ini menyatakan sebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks berarti semakin parah tingkat kemiskinan karena semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin. 

Ukuran-ukuran agregate kemiskinan tersebut secara rutin telah dipublikasikan oleh BPS
yang dikenal sebagai data kemiskinan makro. Selain tiga ukuran agregate kemiskinan di atas,
ada beberapa ukuran agregate kemiskinan lainnya, seperti Indeks Sen, Indeks Sen-Shorrocks-
Thon (SST), dan lain-lain, tetapi indeks-indeks tersebut tidak rutin dihitung oleh BPS.

2. Data Kemiskinan Mikro
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, data kemiskinan makro yang telah dihasilkan
hanya dapat disajikan sampai tingkat provinsi/kabupaten. Sedangkan, beberapa tahun terakhir
data kemiskinan mikro yang merupakan data level individu pun telah tersedia. Beberapa contoh
data kemiskinan mikro yang telah dihasilkan adalah Pendataan Sosial Ekonomi Penduduk 2005
(PSE05), Survei Pelayanan Dasar Kesehatan dan Pendidikan 2007 (SPDKP07) yang merupakan
bagian PSE05 untuk rumahtangga-rumahtangga tertentu, Pendataan Program Perlindungan
Sosial 2008 (PPLS08), dan yang terbaru adalah Pendataan Program Perlindungan Sosial 2011
(PPLS11).

PSE05 merupakan data level individu pertama yang tersedia sebagai dasar dari programprogram
perlindungan sosial dalam rangka mengurangi jumlah penduduk miskin. PSE05
dimaksudkan untuk mendapatkan data kemiskinan mikro berupa direktori rumah tangga
penerima BLT (Bantuan Langsung Tunai) yang berisi nama kepala rumah tangga dan alamat
tempat tinggal mereka. Penentuan rumah tangga penerima BLT pada PSE05 didasarkan pada
pendekatan karakteristik rumah tangga, bukan dengan pendekatan nilai konsumsi pengeluaran
untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum seperti pada data kemiskinan makro. Indikatorindikator
yang digunakan ada sebanyak 14 variabel, yaitu:
1) Luas lantai rumah;
2) Jenis lantai rumah;
3) Jenis dinding rumah;
4) Fasilitas tempat buang air besar;
5) Sumber air minum;
6) Penerangan yang digunakan;
7) Bahan bakar yang digunakan;
8) Frekuensi makan dalam sehari;
9) Kebiasaan membeli daging/ayam/susu;
10) Kemampuan membeli pakaian;
11) Kemampuan berobat ke puskesmas/poliklinik;
12) Lapangan pekerjaan kepala rumah tangga;
13) Pendidikan kepala rumah tangga; dan
14) Kepemilikan aset.

Metode yang digunakan untuk menentukan kategori rumah tangga penerima BLT adalah dengan menggunakan sistem skoring, yaitu setiap variabel diberi skor yang diberi bobot dan bobotnya didasarkan pada besarnya pengaruh dari setiap variabel terhadap kemiskinan. Jumlah variabel dan besarnya bobot berbeda di setiap kabupaten. Dari bobot masing-masing variabel terpilih untuk setiap kabupaten/kota selanjutnya dihitung indeks skor rumah tangga penerima BLT. Selanjutnya indeks diurutkan dari terbesar sampai terkecil, semakin tinggi nilainya, maka semakin miskin rumah tangga tersebut (BPS, 2011).

Selain PSE05, BPS pada tahun 2007 kembali mengumpulkan data kemiskinan mikro yang dikenal dengan nama SPDKP 2007. SPDKP07 merupakan basis data untuk calon penerima bantuan tunai melalui Program Keluarga Harapan (PKH). PKH adalah program penanggulangan kemiskinan melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia dini dengan cara pemberian bantuan tunai kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) berdasarkan persyaratan dan ketentuan yang telah ditetapkan. Untuk jangka pendek, program ini diharapkan dapat mengurangi beban pengeluaran RTSM. Untuk jangka panjang, melalui persyaratan yang ditentukan diharapkan akan terjadi perubahan pola pikir dan perilaku yang mengarah pada perbaikan status kesehatan anak-anak dan ibu hamil, serta perbaikan tingkat pendidikan anakanak RTSM, sehingga secara berangsur-angsur rantai kemiskinan dapat diputus. SPDKP dilakukan dalam 2 putaran, SPDKP Putaran-1 dilakukan pada bulan April-Juli 2007 dan Putaran-2 dilakukan pada bulan Agustus-November 2007.
SPDKP Putaran-1 diselenggarakan untuk menjaring RTSM yang memenuhi syarat (rumah tangga yang memiliki anak balita, anak usia sekolah, dan wanita hamil) untuk implementasi Tahun Anggaran 2007, sedangkan pelaksanaan Putaran-2 dimaksudkan untuk memperoleh RTSM bagi pelaksanaan PKH Tahun Anggaran 2008. SPDKP Putaran-1 diselenggarakan pada 348 kecamatan yang tersebar di 49 kabupaten di 7 provinsi, yaitu Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Gorontalo. Cakupan wilayah SPDKP Putaran-2 adalah 615 kecamatan yang tersebar di 97 kabupaten/kota di 15 provinsi, yaitu Nanggroe Aceh
Darussalam, Sumatera Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur,
Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Papua Barat. Dalam laporan SPDKP07 disebutkan beberapa kriteria umum RTSM, yaitu:

  1. Sebagian besar pengeluarannya digunakan untuk memenuhi konsumsi makanan pokok yang sangat sederhana,
  2. Biasanya tidak mampu atau mengalami kesulitan untuk berobat ke tenaga medis, kecuali Puskesmas atau yang disubsidi pemerintah,
  3. Tidak mampu membeli pakaian satu kali dalam satu tahun untuk setiap anggota rumah tangga,
  4. Biasanya tidak/hanya mampu menyekolahkan anaknya sampai jenjang pendidikan SLTP.

Dari sisi kondisi fisik serta fasilitas tempat tinggal RTSM biasanya tinggal pada rumah yang:

  1. Dinding rumahnya terbuat dari bambu/kayu/tembok dengan kondisi tidak baik/kualitas rendah, termasuk tembok yang sudah usang/berlumut atau tembok tidak diplester,
  2. Sebagian besar lantai terbuat dari tanah atau kayu/semen/keramik dengan kondisi tidak baik/kualitas rendah,
  3. Atap terbuat dari ijuk/rumbia atau genteng/seng/asbes dengan kondisi tidak baik/kualitas rendah, 
  4. Penerangan bangunan tempat tinggal bukan dari listrik atau listrik tanpa meteran,
  5. Luas lantai rumah kecil (biasanya kurang dari 8 m2/orang), 
  6. Sumber air minum berasal dari sumur atau mata air tak terlindung/air sungai/air hujan/lainnya.


Selanjutnya pada tahun 2008 BPS melakukan pemutakhiran (updating) data basis Rumah
Tangga Sasaran Bantuan Langsung Tunai (RTS BLT). Dalam BPS (2011) disebutkan bahwa
pemutakhiran data tersebut dilaksanakan melalui kegiatan Pendataan Program Perlindungan
Sosial Tahun 2008 (PPLS08). Adapun tujuan kegiatan PPLS08 adalah:
1. Memperbaharui database RTS, yaitu untuk mendapatkan daftar nama dan alamat RTS:

  • Membuang data rumah tangga penerima BLT 2005 yang sudah meninggal dunia tanpa ahli waris yang berada pada rumah tangga yang sama.
  • Membuang data rumah tangga penerima BLT 2005 yang tidak layak sebagai sasaran program karena status ekonominya sudah tidak miskin lagi.
  • Memasukkan data rumah tangga sasaran baru, baik mereka adalah rumah tangga yang sebelumnya telah tercatat tetapi pindah tempat tinggal atau mereka yang belum pernah tercatat sama sekali.

2. Memperbaharui informasi tentang kehidupan sosial ekonomi RTS, khususnya tentang kualitas tempat tinggal, pendidikan dan pekerjaan kepala rumah tangga.
3. Menambah data anggota rumah tangga sasaran dengan informasi nama, umur, jenis kelamin,
status sekolah dan pekerjaan anggota rumah tangga dan informasi tambahan tentang kondisi
perumahan.

Jenis data yang dikumpulkan adalah

  1. Keterangan rumah tangga yang meliputi: luas lantai, jenis lantai, jenis dinding, fasilitas tempat buang air besar, sumber air minum, sumberpenerangan, jenis bahan bakar untuk memasak, frekwensi membeli daging/ayam/susu,  frekwensi makan, jumlah pakaian yang biasa dibeli, kemampuan berobat, lapangan pekerjaan utama, pendidikan kepala rumah tangga (KRT), kepemilikan aset; 
  2. Keterangan sosial ekonomi anggota rumah tangga (ART) yaitu nama, hubungan dengan kepala rumah tangga, jenis kelamin, tanggal lahir, umur, status perkawinan, kepemilikan tanda pengenal, kecatatan, pendidikan, kegiatan ekonomi ART yang berumur 5 tahun dan lebih.


Setelah PPLS08, BPS kembali melakukan pendataan rumah tangga/keluarga sasaran pada
tahun 2011. Ini berarti PPLS11 merupakan kegiatan pendataan rumah tangga untuk program
bantuan dan perlindungan sosial yang ke-empat. Kegiatan PPLS11 dimaksudkan untuk
memenuhi kebutuhan basis data terpadu yang dapat digunakan untuk program-program
bantuan dan perlindungan sosial pemerintah pada tahun 2012-2014.

Foto Kegiatan

CREW BPS KOTA BEKASI

PEMBUKAAN PELATIHAN PETUGAS PENDATAAN

KUNJUNGAN KETUA TKPKD

PARA INAS BERSAMA MASTER INTAMA

DISKUSI DENGAN KSK

FKP DI RW12 KEL. KALIABANG TENGAH BEKASI UTARA

FKP DI RW12 KEL. KALIABANG TENGAH BEKASI UTARA

SOSIALISASI DI TINGKAT TKPKD KOTA BEKASI

PEMAPARAN DI DEPAN CALON FASILITATOR DAN ASFAS

PEMBUKAAN LATGAS PBDT2015 KOTA BEKASI

PEMBUKAAN LATGAS PBDT2015 KOTA BEKASI

PEMBUKAAN LATGAS PBDT2015 KOTA BEKASI

PEMBUKAAN LATGAS PBDT2015 KOTA BEKASI

JAJARAN TKPKD KOTA BEKASI

CREW BPS KOTA BEKASI DI DEPAN ISTANA BOGOR

Pendataan Rumah Tangga

Pendataan Rumah Tangga.

Pada kegiatan ini petugas pencacah lapangan (PCL) akan mendata setiap rumah tangga yang telah tercetak pada daftar prelist baru. Daftar prelist baru (PBDT2015.FKP) merupakan daftar nama dan alamat rumah tangga yang sudah dikonfirmasi keberadaannya melalui FKP.
Pendataan ini bertujuan untuk memperoleh keterangan lengkap mengenai rumah tangga dan anggota rumah tangga. Dokumen yang dipakai dalam pendataan adalah Daftar PBDT2015.RT, yang memuat seluruh keterangan rumah tangga dan individu anggota rumah tangga.

Informasi yang Dikumpulkan pada Pendataan Rumah Tangga dalam PBDT 2015 ini data yang dikumpulkan adalah :

  1. Nama dan alamat kepala rumah tangga.
  2. Keterangan perumahan mencakup status penguasaan bangunan,penguasaan lahan, luas lantai, jenis lantai, jenis dinding terluas, jenis atap terluas, sumber air minum, sumber penerangan utama, bahan bakar/energi utama untuk memasak, fasilitas tempat buang air besar, tempat pembuangan akhir tinja, kepemilikan aset, usaha mikro yang dimiliki, dan keikutsertaan berbagai program.
  3. Keterangan sosial ekonomi setiap anggota rumah tangga (ART) yaitu nama, hubungan dengan kepala rumah tangga, keluarga, jenis kelamin, tanggal lahir, umur, status perkawinan, kepemilikan kartu identitas, kecacatan, penyakit menahun/kronis, kehamilan, pendidikan, dan kegiatan ekonomi ART.

Forum Konsultasi Publik

Forum Konsultasi Publik (FKP) 

Forum Konsultasi Publik (FKP) adalah forum pertemuan untuk bertanya-jawab bersama dengan publik/masyarakat. Agar konsultasinya efektif dan efisien maka konsultasi hanya melibatkan tokoh yang mewakili masyarakat, seperti ketua komunitas, Kepala Dusun, Ketua RW, Ketua RT atauKetua SLS atau tokoh yang mewakili. FKP dilaksanakan pada tingkat desa/kelurahan (gambar 2.1) dengan mengundang perwakilan masyarakat dari wilayah setingkat di bawah desa/kelurahan. Tidak semua desa/kelurahan seragam dalam penamaan bagian wilayahnya, namun berdasarkan informasi dari PODES 2014 sebagian besar menggunakan Dusun atau RW (Rukun Warga) sebagai wilayah tingkat pertama di bawah desa/kelurahan. Secara khusus di Sumatera Barat mayoritas menggunakan Nagari sebagai Desa/Kelurahan dan di bawahnya ada Jorong. Setiap kegiatan FKP akan difasilitasi oleh fasilitator, yang berfungsi sebagai pemandu diskusi, membimbing pemeriksaan dan pengesahan data (nama-alamat). Pada pokoknya kegiatan FKP hanya memeriksa apakah sujumlah nama dan alamat kepala rumah tangga di dalam daftar tercetak (prelist) benar KEBERADAANNYA di wilayah ini, yakni tentang apakah masih tinggal di wilayah ini, sudah pindah ataukah sudah meninggal? Sedangkan perihal apa, dari mana dan untuk apa daftar tersebut, serta mengapa diperiksa, tentunya perlu dijelaskan fasilitator. 

Pada kota-kota tertentu yang memiliki jumlah penduduk besar dan padat, FKP dilaksanakan pada SLS satu tingkat di bawah desa/kelurahan seperti Dusun atau RW (Gambar 2.2). Peserta FKP pada SLS satu tingkat di bawah desaadalah ketua RT yang berada di wilayah dusun atau RW tersebut. Penentuan kota-kota ini berdasarkan keputusan BPS pusat. 

Tujuan dan Dasar Hukum

1. Tujuan

Tujuan utama kegiatan PBDT 2015 adalah untuk memperoleh keterangan rumah tangga dan anggota rumah tangga kondisi tahun 2015 untuk dipergunakan sebagai data informasi mutakhir. Dengan tersedianya data tersebut kementerian/lembaga dan pemerintah daerah maupun swasta dapat menggunakannya untuk penetapan sasaran program.


2.  Dasar Hukum

Pelaksanaan PBDT 2015 didasarkan pada :
a. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik,
b. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Statistik,
c. Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, dan Program Indonesia Sehat untuk Membangun Keluarga Produktif.
d. Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 7 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pusat Statistik.

Pengawasan dan Monitoring

Pengawasan dan monitoring FKP dilakukan melalui cara berikut:

a. Pengawasan melalui administrasi:
Pengawasan melalui administrasi dilakukan dengan memonitor alur dokumen. Dokumen diberikan secara bertahap, misalnya setiap fasilitator hanya boleh mengambil dokumen FKP untuk 5 desa. Pengambilan berikutnya dilakukan bila fasilitator telah menyerahkan dokumen hasil FKP yang telah selesai atau melaporkan perkembangan hasil FKP yang telah dilaksanakan. Pengambilan biaya konsumsi FKP juga dilakukan secara bertahap seiring dengan pengambilan dokumen.

b. Pengawasan melalui supervisi:
Pengawasan melalui supervisi dilakukan oleh BPS daerah dan pusat. Supervisi pelaksanaan FKP dilakukan oleh Kasi Statistik Sosial BPS Kabupaten/Kota dan staf/pejabat BPS Provinsi. Pejabat BPS pusat yang melakukan supervisi diupayakan dapat meninjau pelaksanaan FKP di lapangan. Pemilihan daerah dan kecamatan yang di supervisi berdasarkan evaluasi hasil monitoring pelaksanaan di sekretariat.

c. Melalui Pemanfaatan Alat Komunikasi
Pengawasan dan monitoring dapat dilakukan dengan menggunakan alat komunikasi (HP). Monitoring dengan menggunakan HP dilakukan oleh Sekretariat untuk menerima pesan laporan dari fasilitator dan koordinator lapangan. Setiap kali fasilitator menyelesaikan FKP diharuskan menginformaikan kepada sekretariat. Informasi yang dikirimkan ke sekretariat untuk dicatat antara lain:
- Desa/kelurahan yang telah melakukan FKP,
- Jumlah RTS PPLS yang ADA.
- Jumlah RTS PROGRAM yang ADA,
Evaluasi dilakukan dengan membandingkan hasil rekap dengan prelist awal.

Konsep Kemiskinan

I. Penduduk Miskin

Konsep :
Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi Penduduk Miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan.

Sumber Data :
Sumber data utama yang dipakai adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi dan Kor. 

II. Garis Kemiskinan (GK)
Konsep:

  1. Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita per bulan dibawah Garis Kemiskinan dikategorikan sebagai penduduk miskin.
  2. Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dll)
  3. Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) adalah kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di pedesaan.
Sumber Data : 
Sumber data utama yang dipakai adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi dan Kor. 

Rumus Penghitungan :

GK = GKM + GKNM

GK      = Garis Kemiskinan 
GKM   = Garis Kemiskinan Makanan 
GKNM = Garis Kemiskinan Non Makan

Teknik penghitungan GKM

  • Tahap pertama adalah menentukan kelompok referensi (reference populaion) yaitu 20 persen penduduk yang berada diatas Garis Kemiskinan Sementara (GKS). Kelompok referensi ini didefinisikan sebagai penduduk kelas marginal. GKS dihitung berdasar GK periode sebelumnya yang di-inflate dengan inflasi umum (IHK). Dari penduduk referensi ini kemudian dihitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non-Makanan (GKNM).
  • Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah jumlah nilai pengeluaran dari 52 komoditi dasar makanan yang riil dikonsumsi penduduk referensi yang kemudian disetarakan dengan 2100 kilokalori perkapita perhari. Patokan ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978. Penyetaraan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan dilakukan dengan menghitung harga rata-rata kalori dari ke-52 komoditi tersebut. Formula dasar dalam menghitung Garis Kemiskinan Makanan (GKM) adalah :
Dimana :
GKMj = Gris Kemiskinan Makanan daerah j (sebelum disetarakan menjadi 2100 kilokalori).
Pjk    = Harga komoditi k di daerah j.
Qjk    = Rata-rata kuantitas komoditi k yang dikonsumsi di daerah j. 
Vjk    = Nilai pengeluaran untuk konsumsi komoditi k di daerah j. 
j        = Daerah (perkotaan atau pedesaan)

Selanjutnya GKMj tersebut disetarakan dengan 2100 kilokalori dengan mengalikan 2100 terhadap harga implisit rata-rata kalori menurut daerah j dari penduduk referensi, sehingga :


 Dimana :
Kjk = Kalori dari komoditi k di daerah j 
HKj = Harga rata-rata kalori di daerah j 


Dimana :
Fj = Kebutuhan minimum makanan di daerah j, yaitu yang menghasilkan energi setara dengan 2100 kilokalori/kapita/hari.

  • Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) merupakan penjumlahan nilai kebutuhan minimum dari komoditi-komoditi non-makanan terpilih yang meliputi perumahan, sandang, pendidikan dsan kesehatan. Pemilihan jenis barang dan jasa non makanan mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan perubahan pola konsumsi penduduk. Pada periode sebelum tahun 1993 terdiri dari 14 komoditi di perkotaan dan 12 komoditi di pedesaan. Sejak tahun 1998 terdiri dari 27 sub kelompok (51 jenis komoditi) di perkotaan dan 25 sub kelompok (47 jenis komoditi) di pedesaan. Nilai kebutuhan minimum perkomoditi /sub-kelompok non-makanan dihitung dengan menggunakan suatu rasio pengeluaran komoditi/sub-kelompok tersebut terhadap total pengeluaran komoditi/sub-kelompok yang tercatat dalam data Susenas modul konsumsi. Rasio tersebut dihitung dari hasil Survei Paket Komoditi Kebutuhan Dasar 2004 (SPKKP 2004), yang dilakukan untuk mengumpulkan data pengeluaran konsumsi rumah tangga per komoditi non-makanan yang lebih rinci dibanding data Susenas Modul Konsumsi. Nilai kebutuhan minimum non makanan secara matematis dapat diformulasikan sebagai berikut :

 Dimana:
NFp = Pengeluaran minimun non-makanan atau garis kemiskinan non makanan daerah p (GKNMp).
Vi = Nilai pengeluaran per komoditi/sub-kelompok non-makanan daerah p (dari Susenas modul konsumsi).
ri = Rasio pengeluaran komoditi/sub-kelompok non-makanan menurut daerah (hasil SPPKD 2004).
i = Jenis komoditi non-makanan terpilih di daerah p.
p = Daerah (perkotaan atau pedesaan).


III. Persentase Penduduk MiskinKonsep :
Head Count Index (HCI-P0), adalah persentase penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan (GK).

Sumber Data :
Sumber data utama yang dipakai adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi dan Kor. 

Rumus Penghitungan :

Dimana : 
α  = 0 
z  = garis kemiskinan. 
yi = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (i=1, 2, 3, ...., q), yi < z 
q  = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. 
n  = jumlah penduduk. 


IV. Indeks Kedalaman KemiskinanKonsep :
Indeks Kedalaman Kemiskinan (Poverty Gap Index-P1), merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran pesuduk dari garis kemiskinan.

Sumber Data :
Sumber data utama yang dipakai adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi dan Kor.

Rumus Penghitungan : 


Dimana : 
α  = 1 
z  = garis kemiskinan. 
yi = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (i=1, 2, 3, ...., q), yi < z 
q  = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. 
n  = jumlah penduduk. 

V. Indeks Keparahan KemiskinanKonsep :
Indeks Keparahan Kemiskinan (Proverty Severity Index-P2) memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.

Sumber Data :
Sumber data utama yang dipakai adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Panel Modul Konsumsi dan Kor.

Rumus Penghitungan
 :

Dimana : 
α  = 2 
z  = garis kemiskinan. 
yi = Rata-rata pengeluaran per kapita sebulan penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan (i=1, 2, 3, ...., q), yi < z 
q  = Banyaknya penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. 
n  = jumlah penduduk.

Tahapan Kegiatan

Tahapan Kegiatan

Kegiatan PBDT 2015 ada dua tahapan kegiatan besar yang akan dilakukan, yaitu tahap pertama berupa Forum Konsultasi Publik (FKP) dan tahap kedua berupa pendataan ke rumah tangga. Berikut ini dijelaskan pengertaian satu per satu tahapan tersebut.

a. Forum Konsultasi Publik (FKP)
Forum Konsultasi Publik (FKP) adalah forum pertemuan untuk bertanya-jawab bersama dengan publik/masyarakat. Agar konsultasinya efektif dan efisien maka konsultasi hanya melibatkan tokoh yang mewakili masyarakat, seperti ketua komunitas, Kepala Dusun, Ketua RW, Ketua RT atauKetua SLS atau tokoh yang mewakili. FKP dilaksanakan pada tingkat desa/kelurahan (gambar 2.1) dengan mengundang perwakilan masyarakat dari wilayah setingkat di bawah desa/kelurahan. Tidak semua desa/kelurahan seragam dalam penamaan bagian wilayahnya, namun berdasarkan informasi dari PODES 2014 sebagian besar menggunakan Dusun atau RW (Rukun Warga) sebagai wilayah tingkat pertama di bawah desa/kelurahan. Secara khusus di Sumatera Barat mayoritas menggunakan Nagari sebagai Desa/Kelurahan dan di bawahnya ada Jorong. Setiap kegiatan FKP akan difasilitasi oleh fasilitator, yang berfungsi sebagai pemandu diskusi, membimbing pemeriksaan dan pengesahan data (nama-alamat). Pada pokoknya kegiatan FKP hanya memeriksa apakah sujumlah nama dan alamat kepala rumah tangga di dalam daftar tercetak (prelist) benar KEBERADAANNYA di wilayah ini, yakni tentang apakah masih tinggal di wilayah ini, sudah pindah ataukah sudah meninggal? Sedangkan perihal apa, dari mana dan untuk apa daftar tersebut, serta mengapa diperiksa, tentunya perlu dijelaskan fasilitator.
Pada kota-kota tertentu yang memiliki jumlah penduduk besar dan padat, FKP dilaksanakan pada SLS satu tingkat di bawah desa/kelurahan seperti Dusun atau RW (Gambar 2.2). Peserta FKP pada SLS satu tingkat di bawah desaadalah ketua RT yang berada di wilayah dusun atau RW tersebut. Penentuan kota-kota ini berdasarkan keputusan BPS pusat.

b. Pendataan Rumah Tangga.
Pada kegiatan ini petugas pencacah lapangan (PCL) akan mendata setiap rumah tangga yang telah tercetak pada daftar prelist baru. Daftar prelist baru (PBDT2015.FKP) merupakan daftar nama dan alamat rumah tangga yang sudah dikonfirmasi keberadaannya melalui FKP. Pendataan ini bertujuan untuk memperoleh keterangan lengkap mengenai rumah tangga dan anggota rumah tangga. Dokumen yang dipakai dalam pendataan adalah Daftar PBDT2015.RT, yang memuat seluruh keterangan rumah tangga dan individu anggota rumah tangga.

Struktur Organisasi

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BEKASI NOMOR : 065/KPG 32-75 TAHUN 2015 TENTANG : SEKRETARIAT TIM PELAKSANA KEGIATAN PEMUTAKHIRAN BASIS DATA TERPADU (PBDT) BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BEKASI


SUSUNAN KEANGGOTAAN SEKRETARIAT TIM PELAKSANA KEGIATAN
PEMUTAKHIRAN BASIS DATA TERPADU (PBDT) 2015
BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BEKASI



Metodologi

Cakupan

PBDT 2015 dilaksanakan di 34 provinsi, 511 Kabupaten/Kota, 7.074 kecamatan dan 82.190 desa/kelurahan di seluruh wilayah Indonesia. Target rumah tangga yang dikumpulkan datanya sekitar 27 juta rumah tangga, atau sekitar 40 persen rumah tangga dengan kondisi sosial ekonomi terbawah secara nasional.Data rumah tangga sasaran yang dikumpulkan dalam PBDT 2015 mencakup nama dan alamat rumah tangga sasaran, keterangan pokok rumah tangga dan keterangan sosial ekonomi setiap anggota rumah tangga.

Pemutakhiran pada BDT yang dimaksud mencakup memperbarui identitas tempat tinggal sesuai perkembangan wilayah terkini, mengumpulkan karekteristik sosial ekonomi dan mengumpulkan informasi baru yang belum ada sebelumnya. Pemutakhiran tersebut harus dilakukan di lapangan, sebagian keterangan diperoleh pada tingkat wilayah satuan lingkungan setempat (seperti Dusun, RW, RT, Dukuh, Lingkungan, Jorong, dsb.), dan sebagian keterangan harus diperoleh dari rumah tangga yang bersangkutan.

Lingkup isi data (keterangan) yang dikumpulkan adalah alamat, keterangan sosial ekonomi rumah tangga dan individu anggota rumah tangga, yang sifatnya umum sehingga dapat digali dengan pengamatan dan wawancara (pengakuan). Tidak dilakukan pendataan yang bersifat pengujian laboratorium, ataupun pembuktian legal formal, sehingga kebenaran isi data sangat tergantung pada kejujuran masyarakat serta kemampuan petugas dalam menggali keterangan

Informasi Umum

Latar Belakang

Perlindungan sosial merupakan bagian dari visi, misi dan program dari pemerintah yang dikenal dengan ”Nawa Cita”, yang berarti 9 agenda perubahan. Salah satunya adalah mengenai peningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui program perlindungan sosial. Berbagai program yang dimaksud adalah Program Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, Program Indonesia Sehat, Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), Program Keluarga Harapan (PKH) dan lain- lain.

Dalam melaksanakan program tersebut dibutuhkan data dan informasi mengenai sasaran dalam bentuk Basis Data Terpadu (BDT). Pemerintah menugaskan BPS untuk mengumpulkan dan mengolah data rumah tangga/keluarga sasaran melalui kegiatan Pemutakhiran Basis Data Tepadu (PBDT) 2015. BPS telah melakukan kegiatan serupa pada Pendataan Sosial Ekonomi 2005 (PSE05), Pendataan ProgramPerlindungan Sosial (PPLS) 2008, dan PPLS 2011.

Untuk meminimalkan terjadinya inclusion error dan exclusion error pada data BDT maka dilakukan perbaikan metodologi dibandingkan dengan kegiatan sebelumnya (PPLS 2011). Kegiatan dibagi menjadi dua tahap, pertama menyelenggarakan Forum Konsultasi Publik (FKP) tingkat desa yang melibatkan ketua komunitas atau Satuan lingkungan Setempat (SLS) satu tingkat di bawahnya. Tahap kedua adalah pendataan rumah tangga yang merujuk pada hasil tahap pertama (FKP).

Latar Belakang

Pemutakhiran Basis Data Terpadu tahun 2015 (PBDT 2015) adalah kegiatan nasional untuk memutakhirkan data rumah tangga pada Basis Data Terpadu (BDT) yang merupakan hasil pendataan PPLS 2011. Kegiatan PBDT 2015 merupakan amanat Instruksi Presiden RI nomor 7 tahun 2014.

Kegiatan pendataan rumah tangga untuk program perlindungan sosial pernah dilaksanakan sebelumnya oleh BPS dengan nama yang berbeda, yaitu Pendataan Sosial Ekonomi tahun 2005 (PSE 2005), dan Pendataan Program Perlindungan Sosial 2008 dan 2011 (PPLS 2008 dan PPLS 2011). Basis data digunakan untuk menyusun sasaran penerima BLT (Bantuan Langsung Tunai), Bantuan Langsung Subsidi Masyarakat (BLSM), Program Keluarga Harapan (PKH), Program beras untuk orang miskin (Raskin), Program Simpanan Keluarga Sejahtera 2015, Program Indonesia Pintar, Program Indonesia Sehat, Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS 2014-2015, dan sebagainya. Telah banyak orang terutama mereka yang miskin telah tertolong mendapatkan bantuan dan perlindungan melalui keberadaan BDT. Dengan data ini sebagian kebutuhan dasar masyarakat golongan terbawah dapat diketahui, bahkan dapat langsung ditangani pemerintah.

Mari kita menyikapi penugasan PBDT 2015 ini sebagai bentuk tanggung jawab kepada bangsa dan negera, membantu negara untuk hadir di dalam kemelut bangsa dalam menangani kemiskinan. Saya meminta agar seluruh jajaran BPS di pusat maupun daerah untuk dengan penuh tanggung jawab melaksanakan tugasnya masing-masing di bidang teknis dari mulai perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan pengolahan, di bidang administrasi bina program, umum dan keuangan, serta di bidang pengawasan.

Cari Blog Ini

Trending Topic

Perlindungan sosial merupakan bagian dari visi, misi dan program dari pemerintah yang dikenal dengan ”Nawa Cita”, yang berarti 9 agenda perubahan. Salah satunya adalah mengenai peningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui program perlindungan sosial. Berbagai program yang dimaksud adalah Program Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, Program Indonesia Sehat, Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin), Program Keluarga Harapan (PKH) dan lain- lain.

Popular Posts

Pengikut